Senin, 23 Juli 2012

Sejarah Loko Bolong di Salubulung


Loko Bolong dibeli oleh tomate (Alm) Ambo'na Sia (H. Pallabuang, ayahnya Aco' Baka) langsung dari Mamasa. Disebut Loko Bolong karena semua bagian bangunanna bercat hitam. Loko berarti lumbung dan bolong berarti hitam. Loko Bolong dipikul langsung dari Mamasa ke Salubulung tahun 1940-an. Indah sekali karena penuh dengan ukiran gaya Mamasa di sekeliling papanya yang berdiri lebar. Arsitekturalnya  hasil kerja manual, dipahat langsung oleh tangan manusia, bukan digergaji. Tumbak' boro'na atau juga terdiri dari kayu penuh ukiran-ukiran  seperti bangunan Toraja yang sekarang. Semua bahan-bahannya berasal dari Tanah Mamasa. Saat itu, Pak Pallabuang sekeluarga yang juga dikenal sebagai tokoh masyarakat,  masih mendiami rumah mertuanya, yakni rumah yang lahannya juga tempat berdiri Loko Bolong. Lahan itu kini menjadi tanah kosong sebelah Abdul Gani Djalil. Beliau menjabat sebagai Kepala Desa Muda Salubulung waktu itu.
Di bawah Loko Bolong memang sejak dulu jadi tempat kongkow-kongkow warga Salubulung pagi, sore, siang, dan malam karena ada lantainya yang datar. Di situ sering juga dimanfaatkan ibu-ibu sambil sikutui (mencari kutu) sambil menggossip model dulu hehehe.  Setiap perantau Salubulung yang datang dan yang pergi, selalu berusaha meninggalkan tulisan kapur atau osing (arang) di kulakka'na (langit-langit) Loko Bolong karena model kulakka' aslinya cukup lebar, sehingga bisa digunakan menulis. Di situ dulu, ada tulisan antara lain, Alm. M. Karim (Papa Muliyono) ketika tiba dari Makassar tgl .........1956. Masih banyak lagi tulisan yang lain. Namun saying sekali, sekarang ini, tulisan itu sudah banyak yang terhapus. Hal ini disebabkan, antara lain, sence of culture and history  kita masih sangat lemah.
Loko Bolong menjadi artefak budaya yang sangat berkesan dan bernilai sejarah bagi warga Salubulung. Bagi setiap generasi, paling tidak sampai generasi tahun 1990-an, mereka pasti pernah mempio atau berayun menggunakan sarung di bawah kolong loko. Warga mempio sambil menunggu jemuran padi atau gabah di halaman rumah, sehingga tidak terasa lelah dan capek. Loko juga sering digunakan tempat makkatela yakni permainan rakyat yang terdiri atas kayu berlubang yang diisi batu-batu kecil. Dua pemain sekaligus akan saling beradu kecerdasan dan kelihaian memindahkan batu-batu dari satu lubang dan lubang lainnya.
Di Loko Bolong juga, para handai taulan berkumpul mengantar anaknya yang merantau ke kota untuk melanjutkan sekolah. Di sini, air mata warga selalu tumpah ketika sang anak tercinta telah berlalu menuju perantauan, jadi musafir pengetahuan. Di sini juga, kerabat menunggu anak dan keluarga yang pulang atau dating dari kota. Gembira ria dan kebahagiaan mengobati kesedihan dan air mata dulu, menyongsong kerabat pulang kampong.
Loko Bolong dibeli untuk penampungan padi. Tapi selain itu juga karena beliau (H. Pallabuang) adalah seorang tokoh yang secara sosial dan ekonomi akan makin terukur dengan kemampuannya membeli dan mendatangkan Loko Bolong itu. Atau dengan lain kata, karena ketokohannya;ah sehingga beliau membeli loko ini. Kita tidak tahu persis siapa saja dan berapa lama loko ini dibawa ke Salubulung. Dia barang build up, sudah jadi, tapi dipisah-pisah di Mamasa. Ketika tiba di Salubulung baru dipasang dan didirikan.

(Cerita di atas dikutip dari komentar Burhanuddin Gani di Grup Salubulung Rantau, facebook. Sebagian cerita disunting bahasanya dan juga ada penambahan ceritanya, untuk kepentingan kemenyeluruhan cerita. Sejarah Loko Bolong di atas, masih dapat berubah, jika ketika pulang kampung nanti, ditanyakan kembali ke orang tua kita).