Loko Bolong dibeli oleh tomate (Alm) Ambo'na Sia (H. Pallabuang,
ayahnya Aco' Baka) langsung dari Mamasa. Disebut Loko Bolong karena semua
bagian bangunanna bercat hitam. Loko berarti lumbung dan bolong berarti hitam. Loko
Bolong dipikul langsung dari Mamasa ke Salubulung tahun 1940-an. Indah sekali
karena penuh dengan ukiran gaya Mamasa di sekeliling papanya yang berdiri lebar.
Arsitekturalnya hasil kerja manual, dipahat
langsung oleh tangan manusia, bukan digergaji. Tumbak' boro'na atau juga terdiri dari kayu penuh ukiran-ukiran seperti bangunan Toraja yang sekarang. Semua
bahan-bahannya berasal dari Tanah Mamasa. Saat itu, Pak Pallabuang sekeluarga
yang juga dikenal sebagai tokoh masyarakat, masih mendiami rumah mertuanya, yakni rumah
yang lahannya juga tempat berdiri Loko Bolong. Lahan itu kini menjadi tanah
kosong sebelah Abdul Gani Djalil. Beliau menjabat sebagai Kepala Desa Muda
Salubulung waktu itu.
Di bawah Loko Bolong
memang sejak dulu jadi tempat kongkow-kongkow
warga Salubulung pagi, sore, siang, dan malam karena ada lantainya yang datar.
Di situ sering juga dimanfaatkan ibu-ibu sambil sikutui (mencari kutu) sambil menggossip model dulu hehehe. Setiap perantau Salubulung yang datang dan yang
pergi, selalu berusaha meninggalkan tulisan kapur atau osing (arang) di kulakka'na
(langit-langit) Loko Bolong karena model kulakka' aslinya cukup lebar, sehingga
bisa digunakan menulis. Di situ dulu, ada tulisan antara lain, Alm. M. Karim (Papa
Muliyono) ketika tiba dari Makassar tgl .........1956. Masih banyak lagi
tulisan yang lain. Namun saying sekali, sekarang ini, tulisan itu sudah
banyak yang terhapus. Hal ini disebabkan, antara lain, sence of culture and history kita masih sangat lemah.
Loko Bolong menjadi
artefak budaya yang sangat berkesan dan bernilai sejarah bagi warga Salubulung.
Bagi setiap generasi, paling tidak sampai generasi tahun 1990-an, mereka pasti
pernah mempio atau berayun
menggunakan sarung di bawah kolong loko. Warga mempio sambil menunggu jemuran
padi atau gabah di halaman rumah, sehingga tidak terasa lelah dan capek. Loko
juga sering digunakan tempat makkatela
yakni permainan rakyat yang terdiri atas kayu berlubang yang diisi batu-batu
kecil. Dua pemain sekaligus akan saling beradu kecerdasan dan kelihaian
memindahkan batu-batu dari satu lubang dan lubang lainnya.
Di Loko Bolong juga,
para handai taulan berkumpul mengantar anaknya yang merantau ke kota untuk
melanjutkan sekolah. Di sini, air mata warga selalu tumpah ketika sang anak
tercinta telah berlalu menuju perantauan, jadi musafir pengetahuan. Di sini
juga, kerabat menunggu anak dan keluarga yang pulang atau dating dari kota. Gembira
ria dan kebahagiaan mengobati kesedihan dan air mata dulu, menyongsong kerabat
pulang kampong.
Loko Bolong dibeli untuk
penampungan padi. Tapi selain itu juga karena beliau (H. Pallabuang) adalah seorang
tokoh yang secara sosial dan ekonomi akan makin terukur dengan kemampuannya
membeli dan mendatangkan Loko Bolong itu. Atau dengan lain kata, karena
ketokohannya;ah sehingga beliau membeli loko ini. Kita tidak tahu persis siapa saja
dan berapa lama loko ini dibawa ke Salubulung. Dia barang build up, sudah jadi, tapi dipisah-pisah di Mamasa. Ketika tiba di Salubulung
baru dipasang dan didirikan.
(Cerita di atas dikutip dari komentar Burhanuddin Gani di Grup
Salubulung Rantau, facebook. Sebagian cerita disunting bahasanya dan juga ada penambahan
ceritanya, untuk kepentingan kemenyeluruhan cerita. Sejarah Loko Bolong di
atas, masih dapat berubah, jika ketika pulang kampung nanti, ditanyakan kembali
ke orang tua kita).